Rabu, 27 April 2011

Dari Pembiaran, Berakhir sebagai Korban

Jika Anda sungguh-sungguh tertarik untuk mengetahui tentang
, Anda harus berpikir melampaui dasar-dasar. Artikel informatif mengambil melihat lebih dekat hal yang perlu Anda ketahui tentang
.
 Oleh: Windoro Adi
 
Inggris, Newcastle Upon Tyne, Desember 1968, Mary Flora Bell (11) membunuh dua anak berusia tiga dan empat tahun dengan mencekik.

India, Juni 2007, Amarjeet Sada (8) membunuh tiga bayi berusia di bawah setahun. Dua diantara ketiga bayi adalah sepupunya.

AS, Michigan, Februari 2000, Dedrick Owens (6) menembak sekumpulan siswa SD Buell dekat Flint, Michigan. Teman sekelasnya, Kayla Renee Rolland (6), tewas. Dedrick beraksi dengan senjata semiotomatis kaliber 32.

AS, 2001, Alex King (12) dan Derek King (13) membunuh ayahnya, Terry King dengan tongkat pemukul baseball dan membakar rumah mereka untuk menutupi kejahatan. Kedua pelaku mengaku dibujuk Ricky Chavis (41) kawan homoseks Terry King.

Inggris, Liverpool, Februari 1993, kembar Jon Venables & Robert Thompson (10) menculik James Bulger (2) dan membunuh dengan memukul kepala korban menggunakan batubata.

(Sumber, portal Flobamor Forum, Indonesia Knowledge Sharring Center).

KOMPAS.com - Apa bedanya pembunuhan yang dilakukan anak-anak di luar negeri dan di Indonesia? Apa yang membuat mereka melakukan kejahatan yang oleh kalangan praktisi hukum dianggap sebagai kejahatan berat?

Menurut Guru Besar Psikologi UI, Profesor Hamdi Muluk, Kriminolog Anak UI, Ni Made Martini Puteri, dan Kriminolog UI, Kisnu Widakso yang dihubungi Senin (25/4/2011), tidak ada bedanya pembunuhan yang dilakukan anak-anak di luar negeri dan di Indonesia.

Menurut mereka, anak-anak mulai melakukan kejahatan karena terjadi pembiaran dan kesalahan lingkungan memberi penghargaan, tepuk tangan atau tepukan pundak terhadap anak-anak yang nakal atau berbuat jahat.

Karena berlangsung berulang-ulang, maka proses pembiaran dan pemberian penghargaan yang salah tersebut terinternalisasi oleh anak sampai akhirnya anak melakukan kejahatan berat. Proses belajar ini berlangsung lewat keluarga, sekolah, lingkungan terdekat, dan terutama lewat tayangan televisi.

"Proses anak mendapat penanaman nilai yang memandu perilakunya, berawal dari keluarga," kata Hamdi, tetapi kemudian, "Yang sangat mempengaruhi perubahan perilaku anak saat ini adalah tayangan televisi," lanjut Ni Made.

Menurut Hamdi, saat anak-anak tumbuh, mereka mendapat penguatan perilaku di lingkungan terdekat dan lingkungan sekolah. Di tempat itulah mereka merealisasikan keinginannya, dan membangun ego-nya sebagai hero. Tempat ini menjadi pembenaran perilaku mereka, bahkan perilaku yang tidak sesuai atau berlawanan dengan yang diharapkan keluarga.

Hamdi mengatakan, saat awal tumbuh, kedua orangtuanya mengajarkan tentang ketidaktegaan, belas kasih, sikap mudah memaafkan dan toleransi. Tetapi, saat si anak melakukan yang yang bertentangan dengan hal itu di sekolah, dan dilingkungan terdekatnya tidak ada reaksi negatif, maka si anak akan menganggap, penanaman nilai orangtua, salah, ketinggalan jaman, dan tidak legitimate lagi saat ini.

Satu saat, ketika si anak melakukan kejahatan dan mendapat tepuk tangan, komentar pujian dan tepukan pundak dari lingkungannya, maka si anak mulai menganggap, perilaku jahatnya itu berharga buat dia. Si anak kemudian menganggap, agar dia dihargai lingkungannya (ditakuti, disegani) dia harus berbuat jahat. "Jadi prosesnya, dari pembiaran menjadi dukungan kuat lingkungan terhadap aksi jahatnya," tutur Hamdi.

Sejujurnya, satu-satunya perbedaan antara Anda dan para ahli
adalah waktu. Jika Anda akan menginvestasikan waktu sedikit lebih dalam membaca, Anda akan yang lebih dekat ke status ahli ketika datang ke
.

"Anak mencuri, memeras, untuk mendapat uang saku, dibiarkan, bahkan kemudian dibenarkan. Anak yang bertubuh besar memukuli temannya yang bertubuh kecil hanya karena masalah kecil, mendapat penghargaan teman-temannya. Agar mendapat penghargaan lebih tinggi dari teman-temannya, anak lalu meningkatkan kekejamannya menganiaya temannya atau membangun kelompok dengan jumlah lebih banyak untuk berbuat jahat," ucap Hamdi.

Sistem peradilan

Menghindari pertumbuhan perilaku jahat pada anak, Hamdi mengatakan agar keluarga, lingkungan terdekat, lingkungan sekolah, dan tayangan televisi membangun satu nilai moral yang sama, serta menciptakan mekanisme sosial hukuman dan ganjaran yang seragam pada setiap anak sesuai usianya.

"Sekurangnya ada counter balance yang menguatkan perilaku anak menjadi lebih produktif dan positif. Kalau lingkungan keluarganya buruk, lingkungan sekolahnya baik. Kalau tayangan televisi buruk, lingkungan terdekat dan lingkungan sekolah baik, dan seterusnya, papar Hamdi.

Ia dan Ni Made mengakui, karena alasan ekonomi, pendidikan anak di lingkungan keluarga miskin, rapuh. "Oleh karena itu butuh counter balance tayangan televisi dan lingkungan lain tempat anak tumbuh," tegas Hamdi.

Hamdi, Ni Made, dan Kisnu berpendapat, sistem peradilan anak di Indonesia masih rapuh dari hulu hingga hilir. Akibatnya, anak-anak yang masuk dalam sistem peradilan tersebut justru belajar menjadi lebih jahat, terutama di lingkungan penjara.

"Saat saya melakukan penelitian di LP (Lembaga Pemasyarakatan) Pematang Siantar, Tebing Tinggi, dan LP Anak Tanjung Gusta, saya terkejut. Mosok anak cuma mencuri celana saja sampai dipenjara sih?" ujar Kisnu.

Menurut dia, proses peradilan anak sejak dari hulu sudah rapuh. "Mosok ada Kanit PPA (Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak) di suatu polres dijabat seorang polisi yang basis pendidikan kejuruannya anti teror? Saya mengamati, sampai sekarang, unit atau satuan PPA di lingkungan polisi masih menjadi tempat pembuangan karier polisi," tegas Kisnu.

Ia mengkritik cara pandang polisi terhadap kasus pembunuhan yang dilakukan anak. "Seharusnya polisi mendapat dasar pengetahuan psikologi yang cukup sehingga polisi tidak pernah akan menjerat seorang anak tersangka pembunuh dengan pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana. Anak-anak tidak pernah cukup matang membuat rencana. Semua dilakukan spontan, emosional. Menjerat anak dengan pasal 340 itukan karena konstruksi berpikir polisi menghadapi para penjahat dewasa," ucap Kisnu.

Ni Made membenarkan. "Bahkan ada anak yang merasa tidak bersalah ketika membunuh karena menganggap sudah berlaku adil. Inilah dunia anak-anak. Para praktisi hukum membutuhkan pendampingan psikolog dan pendidikan sebelum menjerat anak-anak dengan pasal-pasal kejahatan," ujarnya.

Ia lalu menyebutkan tentang anak-anak yang berjudi dan tidak tahu tentang apa itu judi, atau anak yang menghisap ganja karena ditipu temannya. "Mereka hanya tahu, itu cuma permainan. Sebagian mereka melanggar karena tidak tahu bahkan karena ditipu lingkungannya," jelas Ni Made.

Kisnu dan Ni Made sependapat bahwa hukuman penjara buat anak itu adalah langkah terakhir bila tidak adalagi opsi lain. "Saya perlu mengingatkan bahwa penjara buat anak adalah stigma. Stigma sosial, stigma karier, dan stigma psikologis. Oleh karena itu, saya cenderung menolak pemenjaraan anak," tandas Ni Made.

Menurut dia, sampai sekarang para praktisi hukum masih memperlakukan anak-anak yang terjerat pasal kejahatan sebagai penjahat dewasa. "Mereka cuma main diskon hukuman saja. Kalau dewasa 10 tahun penjara, maka anak-anak cuma separuhnya. Tapi perlakuan polisi, jaksa dan petugas penjara terhadap anak-anak, sama saja dengan saat mereka menghadapi terpidana dewasa," papar Ni Made.

Hamdi mengingatkan, "Anak terpidana pembunuh itu korban. Harus direhabilitasi, bukan dipenjara," tandasnya.

Menurut dia, sampai sekarang, penghuni penjara anak-anak, lebih dari separuh adalah anak-anak yang mencuri. "Terpidana kasus kejahatan berat seperti pembunuhan, angkanya masih sangat rendah," tuturnya. Ni Made mengatakan, berdasar data riset Unicef terhadap anak-anak penghuni penjara, setiap tahun ada 5.000 anak dipenjara di seluruh Indonesia.

Saya berharap bahwa membaca informasi di atas adalah menyenangkan dan pendidikan untuk Anda. Anda proses pembelajaran harus berlangsung - semakin Anda memahami tentang subjek apapun, semakin Anda akan dapat berbagi dengan orang lain.

Tidak ada komentar: